RESENSI
1
Oleh:
Arofah
Siapa yang tak mengenal Kahlil Gibran? Sastrawan asal
Lebanon yang lahir 6 Januari 1883 silam. Banyak sekali karya-karya Gibran yang telah diterbitkan dan diterjemahkan; seperti The Madman (1918), Twenty Drawings (1919), The Forerunner (1920), The Prophet, (1923), Sand and Foam (1926), Kingdom of the Imagination (1927), Jesus, The Son of Man (1928), The Earth Gods (1931), Prose Poems (1934), Secrets of the Heart (1947), A Treasury of Kahlil Gibran (1951), dan lainnya (merdeka.com).
Gadis-gadis Laut, merupakan salah satu karya Khalil Gibran yang telah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya ini berisi 8 cerpen yaitu; Prahara,
Perbudakan, Setan, Gadis-gadis Laut, Kami dan Kalian, Terasing, Debu
Zaman dan Api Abadi, serta Antara Malam dan Pagi.
Dalam hal ini saya akan meresensi cerpen yang berjudul “Prahara”.
Judul :
Gadis-gadis Laut
Pengarang
: Kahlil Gibran
Tahun
terbit : 2004
Kota
Terbit : Yogyakarta
Penerbit :
Cupid
Penerjemah :
Faridah
Penyunting :
Fathul Hamami
SINOPSIS
Yusif el-Fakhri, berusia
tiga puluh tahun ketika ia menarik diri dari masyarakat dan tinggal
dalam pertapaan di tempat yang tersembunyi di dekat lembah Kadeesha,
di Lebanon Utara. Orang-orang kampung menganggap bahwa Yusif itu
berasal dari keluarga yang terpandang yang dikhianati oleh wanita
yang ia cintai, hal itu yang membuat ia mengasingkan diri. Sementara
yang lainnya mengatakan bahwa dia adalah seorang penyair yang
meninggalkan kebingaran kota untuk menyendiri dan merangkai
inspirasi. Ada juga yang mengatakan bahwa dia seorang sufi, dan
terakhir menyebutnya bahwa Yusif itu gila. Sedangkan aku, tak bisa
membuat kesimpulan apa pun tentang Yusif. Menurutku dibalik
pegasingannya pasti ada rahasia yang mendalam di lubuk hatinya yang
tak bisa diungkapkan dengan spekulasi belaka. Aku berharap dapat
menemui Yusif dan bisa menyelidiki siapa dia sebenarnya dan bisa
menggali informasi tentang dirinya dan tujuan hidupnya. Aku akan
berusaha dengan berbagai cara agar bisa menjadi sahabatnya.
Aku bertemu dengan yusif
saat ia berada di hutan Cedar Suci, Lebanon. Aku beruluk salam
dengannya, namun ia hanya membalas dengan anggukan kepala dan pergi
begitu saja. Pada kesempatan lain aku kembali melihatnya, dan
melakukan hal yang sama, namun ia tetap berlalu begitu saja.
Demikanlah selama dua tahun aku melakukan itu dan sia-sia belaka.
Pada suatu hari, di musim
gugur, ketika aku sedang berjalan di perbukitan yang berbatasan
dengan tempat pertapaan Yusif, tiba-tiba aku terperangkap angin keras
dan hujan lebat. Badai melemparkanku kesana-kemari. Lalu dengan susah
payah aku berjalan ke tempat Yusif, sambil berkata pada diriku
sendiri; “ Inilah kesempatan yang sudah lama aku tunggu-tunggu.
Badai ini akan menjadi alasanku untuk masuk ke gubuk Yusif, sementara
bajuku yang basah ini akan menjadi alasan agar aku bisa bermalam di
sana.”
Ketika aku mengetuk pintu
rumahnya, ia sedang memegang seekor burung yang sekarat, kepala
burung itu terluka, sayap-sayapnya patah. Ia menyentuh burung itu
dengan lembut, hati-hati sekali, dan penuh perhatian. Keherananku
semakin bertambah menyaksikan dua watak berlawanan yang ada pada diri
Yusif—kasih sayang dan kekejaman.
Lalu aku mendekatinya dan
bercakap-cakap dengannya. Aku ingin mengetahui kisah pengasingan
dirinya. Kemudian aku pun memancingnya agar bercerita lebih banyak.
Keramahan Yusif semakin melambungkan harapan ku.
Ternyata, Yusif melakukan
pengasingan karena ia ingin menghindari kehidupan dunia yang penuh
fana. Menghindari wajah-wajah manusia yang menjual dirinya,
wanita-wanita yang berjalan angkuh dengan seribu senyuman palsu,
menghindari orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri,
menghindari para pemburu pangkat dan para pejabat yang hanya
mengumbar janji, menghindari kemunafikan bangsa ini.
Lalu Yusif melangkah menuju
pintu dengan membawa tongkat panjang, dan berkata “Jika badai itu
kembali mengejutkanmu, jangan ragu-ragu untuk berlindung di tempat
ini. Aku harap kamu mau belajar mencintai bukan takut pada badai
itu.. selamat malam.”
Yusif membuka pintu dan
berjalan menuju kegelapan. Dan aku pun tak melihatnya lagi. Aku
merenung semalaman tentang rahasia-rahasia yang baru saja aku
dapatkan.
Aku pun tak pernah melihat
Yusif lagi. Kehidupan telah menarik diriku dari Lebanon Utara, dan
aku harus tinggal dalam pengasingan di sebuah negeri yang nun jauh,
yang paraharanya lebih jinak dan bersahabat, dan menempuh kehidupan
pertapa di negeri ini adalah sejenis kegilaan yang terpuji, karena
masyarakatnya juga sedang sakit.
ANALISIS
UNSUR INTRINSIK
Tema :
Pengasingan diri dari dunia fana
Tokoh :
Perwatakan
Tokoh :
Yusif
: Baik, ramah, penuh kasih sayang, tidak menyukai kehidupan dunia
yang penuh dengan sandiwara.
Si
Aku : selalu ingin tahu, cerdas, terpuji.
Seting :
Lembah Kadeesha, hutan Cedar Suci (Lebanon Utara).
Alur :
Maju
Sudut
Pandang : Orang pertama sebagai tokoh sampingan.
Amanat :
“Kadangkala, kita perlu melakukan pengasingan diri untuk
menghindari hal-hal yang tidak baik.”
“Usaha yang
sungguh-sungguh akan membuahkan hasil.”
“Jangan mudah berspekulasi
sebelum melihat yang sebenarnya.”
KEUNGGULAN
CERPEN
Cerpen ini merupakan cerpen
terjemahan, mungkin saja ada bahasa yang dirubah oleh penerjemah dari
bahasa aslinya.
Kelebihannya;
Terjemahan dapat dipahami
dengan mudah walaupun ada beberapa paragraf yang harus dibaca ulang
agar bisa dipahami.
Ceritanya
sangat ringan namun mengajarkan sisi positif.
Bahasa
sastranya sangat bagus.
Hanya
ada dua tokoh yang membuat cerita ini menjadi satu kesatuan yang
tepat.
KELEMAHAN
CERPEN
Ada
beberapa kata yang kurang bisa dipahami.
Judulnya
“Prahara”, mungkin lebih bagus apabila berjudul “Badai”
saja.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di
atas, cerpen ini memang layak untuk dibaca bagi semua kalangan.
Terutama remaja ke atas karena memang bahasanya lebih ke arah sastra.